MASJID AGUNG MATARAM KOTAGEDE
Lokasi
Masjid Agung Kotagede berlokasi di Jalan Watu
Gilang, Kotagede Yogyakarta
Akses
Dari pasar kotagede Masjid ini tidak terlalu
jauh. Untuk mencapai Masjid ini anda hanya perlu bersabar karena ketika
melewati depan pasar Kotagede, lalu lintas selalu ramai dan macet. Wisatawan
bisa langsung ambil jalan sebelah barat pasar, setelah itu lurus megikuti jalan
Watu Gilang ke arah selatan sampai menemukan sebuah papan nama Masjid Agung
Kotagede dan makam Raja Mataram Kotagede.
Harga Tiket
Untuk
mengunjungi Masjid
Agung Kotagede tidak
dipungut biaya karena Masjid merupakan tempat beribadah bagi umat Islam, jadi
bisa menggunakan Masjid tersebut sewaktu waktu untuk keperluan beribadah. Anda
mungkin hanya dikenakan biaya parkir kendaraan sebesar Rp.1.000,- untuk parkir
motor dan Rp.2.000,- untuk parkir mobil.
Fasilitas
Selain
melihat keindahan dan merasakan sejarah Masjid Agung Kotagede ini, pengunjung
dpat sekalian menyusuri sejarah kerajaan Mataram lama yang terdapat tidak jauh
dari tempat tersebut. Pasar Kotagede bisa menjadi tujuan kedua setelah dari
Masjid Agung Kotagede dan berziarah ke Makam Raja Mataram.
Bangunan masjid ini juga termasuk dalam bangunan cagar
budaya. Komplek masjid ini sendiri berada di tengah pemukiman warga dan
dikelilingi pagar tembok setinggi 2.5 meter. Masjid
Agung Kotagede sendiri dibangun pada zaman kerajaan Mataram pada tahun 1640
oleh Sultan Agung bergotong-royong dengan masyarakat setempat yang pada umumnya
waktu itu beragama Hindu dan Budha. Sebelum
memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya
sudah ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk
tempat parkir. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya
"Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan
seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon
tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu
lagi terentang. Berjalan
mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk
paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk
huruf L. Pada tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang
kerajaan. Bentuk paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung
pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha. Memasuki
halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti
bertinggi 3 meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi
masjid ini. Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian
puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan surakarta. Sebuah jam diletakkan
di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat. Adanya prasasti itu membuktikan bahwa masjid
Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa
Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Karena
kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja
Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh
Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan
agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya
berbahan besi.
Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa
berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan
ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi.
Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan
dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit itu di masa lalu digunakan
sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara masjid.
Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar
parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga
yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu
yang disusun berderet. Pada
bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan.
Bedug yang usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari
seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondong, wilayah di
Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan bedug itu, keturunan Nyai
Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian
dinamai Dondongan. Sementara bedug pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan
sebagai penanda waktu sholat.
Di dalam masjid terdapat sebuah mimbar
yang dipakai untuk berkhotbah yang terbuat dari kayu ukir yang merupakan hadiah
dari Sultan Palembang kepada Sultan Agung, tetapi mimbar ini sekarang sudah
tidak dipergunakan lagi. Selanjutnya jika wisatawan
berjalan ke halaman masjid maka dapat dijumpai adanya perbedaan tembok pada
sebelah kiri halaman masjid. Tambok sebelah kiri terlihat tersusun dari bata
merah yang ukurannya lebih besar dengan warna merah tua dan terdapat sebuah
batu seperti marmer yang permukaanya ditulis aksara jawa. Sedangkan tembok yang
lain memiliki batu-bata yang lebih kecil dan berwarna muda dan polos. Ternyata
tembok yang berada di sebelah kiri dibangun pada masa Sultan Agung, sementara
tembok yang lain merupakan hasil renovasi dari Paku Buwono X. Tembok yang
dibangun pada masa Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga
lebih kuat.
Sumber:
http://1.bp.blogspot.com/A848s4C_gaI/UEtuBRV1SAI/AAAAAAAAJQ8/B4FseVYFvZE/s1600/013+-+DSC_0008.jpg
wah bagus yah tempatnya..sangat menarik.
BalasHapusrental mobil jogja